Bersua Ria Banner
Bersua Ria Banner

Eka Annash and the Soundtrack of His Life

Eka Annash of The Brandals, Zigi Zaga, and Diskas! Media shares the soundtrack of his life.
6 Songs to Know Eka Annash
Image Credits: Eka Annash / Fred Perry Indonesia

Selain menjadi salah satu frontman paling karismatik yang pernah singgah di lanskap permusikan Indonesia modern, Eka Annash juga bisa disebut sebagai sosok penting di skena musik independen di Jakarta sejak era 90-an. Bermula dengan keaktifannya memotori band skacore seminal Waiting Room, berlanjut ke era kejayaan musik indie di 2000-an yang turut ia panaskan bersama The Brandals, hingga kini Eka Annash masih terus bereksplorasi dengan musik lewat proyek solonya maupun band ternanyarnya Zigi Zaga.

Di tengah kesibukannya bekerja, mengurus kanal youtube miliknya bernama Diskas, serta mempersiapkan comeback penuh The Brandals, Eka berbagi kisah dengan Kultur Ekstensif tentang 6 lagu yang membentuk diri Eka Annash. Simak pilihan Eka berikut ini:

1. Guns ‘N Roses: “Paradise City”

Berbicara tentang musik yang ngebentuk Eka Annash, as a musician, ada satu album yang bisa dibilang sangat merubah diri gue, sebuah album yang gue anggap sebagai musik generasi gue, yang gue temukan sendiri dan gue own secara pribadi, yaitu Appetite For Destruction milik Guns N’ Roses. Album ini gue temukan di tahun 1988 saat gue berada di bangku SMP kelas 1. Waktu itu gue rela ga makan demi membeli kasetnya pakai duit jajan sendiri.

Orang-orang mulai mengenal Guns N’ Roses lewat single “Welcome to the Jungle” yang udah keluar setahun sebelumnya. Gue mendengarkan semua lagu di album itu dari trek tersebut sampai “Rocket Queen” dan gue suka semua. Tapi satu trek yang paling gue suka in particular adalah “Paradise City.” Lagu tersebut menceritakan tentang gambaran paradise menurut Guns N’ Roses yang mana sangat terinspirasi oleh hometown mereka which is Los Angeles. Gue sendiri belum pernah ke Amerika, tapi lewat lagu ini gue dapat merasakan suasana dan spirit kota LA.

Sebelum Guns N’ Roses gue juga sudah mendengarkan musik rock, tapi lebih ke classic rock seperti Led Zeppelin, The Beatles, The Rolling Stones. Bokap juga sempet menyelami tren jazz fusion, mendengarkan band-band seperti Level 42, Krakatau, Chaseiro, tapi mostly dulu yang diputar di keluarga kami tiga band itu sih. Tapi buat gue Guns N’ Roses adalah rock-nya generasi gue.

2. Fugazi: “Waiting Room”

Salah satu band yang terpenting untuk hidup gue adalah Fugazi, dan lagu mereka yang merubah hidup gue adalah “Waiting Room”. Obviously lo tau lah kecintaan gue terhadap Fugazi sampai menjadikkan lagu mereka ini nama band pertama gue — walaupun yang ngenamain Waiting Room itu si Buluk ya.

Lagu “Waiting Room” sendiri ada di album 13 Songs, tapi itu bukan album, melainkan kompilasi. Jadi sedikit cerita, Fugazi dulu ngeluarin EP Self-Titled di tahun 1988, terus dilanjut dengan EP lain berjudul Margin Walker, dua EP ini lalu digabung ke dalam satu kompilasi berjudul 13 Songs yang covernya warna merah.

Gue pertama kali menemukan Fugazi dari kompilasi tersebut. Tahun-nya 1992, waktu itu gue lagi nongkrong sama temen-temen band Pestolaer, di masa-masa kita sedang mencoba membangun skena underground Jakarta. Posisi kita lagi nyimeng, dan si Boris [drummer Pestolaer] yang waktu itu juga dikenal sebagai music connoisseur di tongkrongan kami, baru aja dapet kaset ini dan memutarnya di mobil dia.

Waktu pertama kali denger dentuman bass-nya gue langsung terhanyut tuh (pas lagi giting lagi kan!). Penasaran kan ini siapa, gue tanyalah ke Boris, dia bilang “Fugazi nih, band barunya Ian Mackaye.” Waktu itu orang-orang udah pada kenal Ian Mackaye dari Minor Threat, dan itu juga lagi eranya musik hardcore, punk, thrash, tapi zaman segitu orang-orang manggilnya Crossover, atau juga disebut Skate Rock, untuk mendefinisikan band-band kayak D.R.I., S.O.D, dsb. Nah Ian Mackaye sendiri seiring berjalannya waktu mulai nge-tone down musik dia, dari era akhir-akhir Minor Threat, lalu lebih toned-down lagi di beberapa proyek setelah Minor Threat hingga akhirnya dia muncul dengan Fugazi.

Gue menemukan apa yang nggak ada di band lain di Fugazi dari segi musiknya. Dia ada memasukkan unsur funk, art-rock, lalu ada dub di sana (oh hardcore bisa gini ya). Secara konten juga Fugazi mengajarkan gue kalau hidup itu nggak sekedar hitam dan putih, dan lagi Fugazi mengajarkan kalau masih banyak tema sosial politik yang bisa disentil seperti kesetaraan gender, hak kelas pekerja, self empowerment dan banyak lagi. Paska 13 Songs, selain musik mereka semakin eksploratif, lirik mereka semakin tajem dari album ke album, mulai Repeater, In On The Kill Taker, juga setelah-setelahnya.

Bisa dibilang lirik-liriknya Ian Mackaye sangat mempengaruhi tidak hanya lirik yang kemudian gue tulis di band-band gue, namun juga juga prinsip hidup gue. Gue bisa ngeklaim lagu-lagunya Waiting Room semua gue yang tulis (yang di album pertama ya!) dan gue banyak terinspirasi dari liriknya Fugazi. Awalnya kita juga sempet mikir, sampai kapan mau jadi band cover Fugazi, hingga akhirnya gue menemukan The Mighty Mighty Bosstones dengan album Question the Answers di tahun 1994 yang menginspirasi Waiting Room untuk bergeser menjadi band ska.

Belakangan album-album Waiting Room kami rilis ulang dan kali ini gue mengupayakan untuk memasukkan lyrics sheet ke dalam rilisan supaya temen-temen bisa turut membaca apa yang gue coba suarakan selama ini bersama Waiting Room.

3. Public Image Ltd: “Public Image”

Teman segenerasi kita, Seringai, pernah membahas lewat lagu “Berhenti di 15” tentang bagaimana selera kita terbentuk dan berhenti di umur 15, dan hal-hal yang mempengaruhi di umur segitu akan selalu membekas di diri kita. Salah satu influence gue di umur segitu yang membentuk diri gue hingga saat ini adalah Sex Pistols.

Lewat lagu-lagu seperti “God Save the Queen,” kritik mereka terkesan lebih jujur dan apa adanya. Berbeda dengan The Clash, yang kritiknya datang melalui cara pandang yang lebih akademis. Joe Strummer sendiri berlatar belakang dari middle class yang mencoba turun kelas, sedangkan Johnny Rotten datang dengan sudut pandang seseorang yang memang mengalami hal-hal tersebut.

Johnny adalah keturunan Irish yang mana di era itu sering kali orang-orang Irish mendapatkan perlakuan diskriminatif dari warga Inggris, seperti disejajarkan dengan anjing. Begitu pun kaum kulit hitam, “No Irish, No Blacks, No Dogs” adalah sentimen yang bahkan sering dipasang dalam bentuk signs di bar-bar di Inggris pada era itu, yang lalu dijadikan judul buku biografinya Johnny Rotten.

Setelah Sex Pistols, Johnny Rotten membuat Public Image Ltd (PIL). Lagu pertama yang dirilis oleh PIL berjudul “Public Image.” Gue pertama kali menemukan lagu ini justru karena sebuah band industrial Ministry yang pernah meng-cover lagu ini —dan gue juga juga pernah bawain lagu ini bersama Zigi Zaga.

Bersama PIL lewat lagu ini, Rotten semacam memberi pernyataan tentang menjadi individu eksklusif setelah terjebak dengan citra publik yang terbentuk atas dirinya dari hari-hari bersama The Pistols. Ia mereinvensi diri dengan melepas nama Johnny Rotten dan kembali menggunakan nama asli dia yaitu John Lydon. Lagu ini menjadi semacam big fuck off kepada fans Sex Pistols, kepada komunitas punk era itu, juga kepada Malcolm McLaren yang berusaha meng-own dia, ngetreat dia sebagai properti mereka… ‘Nggak gue adalah gue and no one owns me.’ Lagu ini mengajarkan gue akan pentingnya untuk selalu menjadi diri sendiri, to be yourself, and to stand up for yourself.

4. David Bowie: “Changes”

Again, salah satu musisi yang memberi pengaruh besar terhadap jiwa musisi gue adalah Bowie. Gue justru merasakan fase Bowie gue ketika gue sedang berkuliah seni di Australia. Sebelumnya tentu gue udah tau Bowie dari kecil tapi nggak pernah kena, baru ketika di Australia, gue baru ngulik Bowie gara-gara mantan gue waktu di sana, namanya Shannon Johnson, seorang bule anak goth — goth yang gue maksud di sini goth yang terinspirasi kultur goth 80’s-90’s ya bukan yang 2000-an gitu — dan mereka rata-rata intelektual yang sangat picky dalam memilih pasangan.

Ceritanya dulu di tembok workspace gue, gue masang posternya Bowie lagi pose sama Mick Ronson gitu. Suatu ketika si Shannon ini ngehampirin meja gue dan nanya “you like Bowie? Name 3 songs,” anjing tiba-tiba dites gue… Gue jawablah: “Uhm, Ziggy Stardust, Aladdin Sane…” terus dia bilang kalau itu mah albumnya. Tapi untungnya dia malah, “okelah gue ga nemu lagi ini yang pasang poster Bowie. Gue ajarin sini, lo suka musik apa?” Karena katalog musiknya Bowie juga cukup beragam kan.

Pada saat itu gue lagi suka musik funk, soul, ya model-model black music gitu lah, tapi gue bilang “lo mending kasih album kompilasinya deh biar gue yang decide mana yang gue suka.” Akhirnya gue dikasih lah album kompilasi yang berjudul Changes. Di situ gue nyantol sama trek “Changes.” Setelah itu gue mulai lebih ngulik dan baru nemu kalau lagu “Changes” ternyata diambil dari album Hunky Dory dan ternyata album itu selain lagu “Changes” isinya cukup gelap. Akhirnya di situ lah gue makin deket ama Shannon dan juga mengalami fase Bowie gue.

Lagu “Changes” dan orang-orang seperti Bowie sendiri mengajarkan gue untuk tetap membuka diri terhadap perubahan dan juga mengajarkan gue untuk constantly changing serta tidak mengulangi diri dalam berkarya sebagai seorang seniman ataupun musisi.

5. Fariz RM: “Barcelona”

Berbicara tentang musik Indonesia, ada sosok legendaris yang sangat menginspirasi gue yaitu Fariz RM, which is disebut juga sebagai Bowie-nya Indonesia. Tapi nggak cuma sekedar mirip Bowie, dia juga banyak mencoba berbagai jenis musik, terus bereksplorasi di setiap rilisannya dan karya-karyanya sangat berkelas. Mungkin bisa dibilang gue mendengarkan Fariz RM dan men-develop selera musik seperti ini karena nyokap gue yang menyukai musik pop Indonesia.

Musik Fariz RM sangat beragam, dari new wave, musik disko, pop jejepangan, musik spanyol dia ada semua. Sedangkan album yang berpengaruh buat gue adalah Living In The Western World. Gue menyukai sekali album itu, tapi kalau harus dipoint-out satu trek, gue pilih lagu “Barcelona.” Lagu ini secara penulisan lagu sangat bagus, komposisinya megah, dan dia bisa memasukkan unsur musik flamenco di tengah lagu itu sesuatu yang keren banget menurut gue.

6. Iwan Fals: “Belum Ada Judul”

Yang terakhir dari one of my musical heroes, Iwan Fals, dengan lagunya “Belum Ada Judul” which is juga merupakan favorit banyak orang. Album ini keluar di tahun 1992 tetapi baru ngena di gue malah 10 tahun kemudian, di tahun 2002.

Waktu itu gue baru pulang ke Indonesia setelah rampung kuliah. Gue sempat mengalami fase-fase krisis di mana gue menganggur beberapa saat dan sering terjadi cekcok sama orangtua — ya gimana ya waktu itu bingung kayak ini kuliah udah ngeluarin banyak duit orangtua tapi ga ada hasilnya. Gue sering dinasehatin, disuruh lebih lagi giat cari kerjanya, dibilang usahanya kurang lah, bangunnya kurang pagi dll., dan gue kayak iya tolong lah kasih [saya] waktu dong. Gue inget tuh di masa-masa itu gue pergi ke mana-mana sambil bawa portfolio gue, gue bawa hasil artwork gue yang berbagai macam bentuk dan rupa itu, gue tunjukkin karya-karya gue yang banyak gambar aneh-aneh dan vulgarnya itu ke berbagai galeri, dan sering kali mereka bilang “waduh kalau gini susah mas.”

Suatu ketika gue sedang mendengarkan M97 FM Jakarta dan mereka memutar “Belum Ada Judul.” Di titik itu gue bener-bener bisa merasakan lirik lagu ini. Lewat lagu ini gue mendapatkan rasanya hiruk pikuk kehidupan warga kota urban terutama para kaum pekerja, dan tema seperti ini pun juga akhirnya banyak gue sisipkan ke dalam lirik-lirik lagu The Brandals, band yang mana baru terbentuk beberapa bulan kemudian — bermula dari adik gue Rully Annash (Alm.) [drummer] yang awalnya ngeband sama temen-temennya di bawah nama The Motives — dan setelah itu things started to get sorted out.

“Belum Ada Judul” akan selalu mengingatkan gue akan masa itu, juga akan didikan ortu gue terutama (Alm.) bokap.

Written by

Share this article

Stay up to date with our content.

Written by

Share this article

Stay up to date with our content.

Bersua Ria Banner

COMMENTS

POPULAR STORIES

MORE ON KULTUR EKSTENSIF

Digital Shitpost account meets underground artistry, see the full collection here.

EXPLORE THE CULTURE,
ENGAGED WITH THE SCENE

Kultur Ekstensif is an independent curatorial media that explores in-depth on culture, lifestyle and everything in between. Our editorial content is not influenced by any commissions.

Subscribe to our newsletter

EXPLORE THE CULTURE,
ENGAGED WITH THE SCENE

Kultur Ekstensif is an independent curatorial media that explores in-depth on culture, lifestyle and everything in between. Our editorial content is not influenced by any commissions.

Stay up to date with our content.

Mixtape This Week