Image by Delpi Suhariyanto
Salah satu hal yang paling mencuri perhatian kami di kancah musik nasional belakangan ini adalah aksi gerilya Greedy Dust, label underground dari Blitar, yang tak henti-hentinya melakukan terobosan-terobosan tak terduga. Baru saja Greedy Dust menghadirkan showcase yang disertai berbagai macam pameran, lalu juga mengumumkan kabar besar kalau distribusi mereka akan dibantu oleh Sun Eater. Selain prolifik, hanya segelintir label rekaman saja di Indonesia yang sangat progresif dalam pergerakannya seperti Greedy Dust.
Pada episode 6 Songs to Know kali ini, kami berbicara dengan salah satu sosok di balik Greedy Dust, Delpi Suhariyanto, tentang lagu-lagu favoritnya dalam 4 bulan terakhir, dan implikasinya terhadap kehidupan Delpi serta bagaimana Greedy Dust beroperasi.
Delpi bercerita bahwa Greedy Dust memang berangkat dari kegemaran Delpi dan teman-temannya terhadap musik hardcore punk, terutama dari pesisir timur Amerika. Etos DIY yang menjadi bagian dari kultur musik hardcore sangatlah menginspirasi bagaimana Greedy Dust bekerjaβsebagaimana label hardcore pada umumnya. Namun Delpi mengakui kalau teknologi, pola bersosialisasi, dan spirit kolaboratif generasi kita belakangan ini juga sangat mempengaruhi dan banyak mempermudah jalan Greedy Dust.
Dengan ini Kultur Ekstensif mempersembahkan 6 Songs to Know Delpi Suhariyanto.
Illustration by Djoko Ikhsan
Read his selection of β6 songs to know Delpi Suhariyantoβ below:
1. Iwan Fals: “PHK”
Secara personal nggak ada pertemuan yang spesial sih dengan lagu ini. Saya pertama kali denger lagu ini waktu jaman SD, karena sering beli CD bajakan di pinggir jalan gitu. Cuma baru-baru ini ada record label dari Bandung, Peels, dia habis ngerilis album kompilasi berjudul Tanamur dalam format vinyl. Baru datang 2 hari yang lalu jadi lagi sering dengerin aja, salah satunya ada lagu ini.
Selain Greedy Dust saya juga ada proyek musik, yang pertama ada band hardcore namanya HADD dan satunya lagi band punk, Dongker. Nah di Dongker ini kadang kala kami nyari referensi yaitu lirik-lirik Indonesia yang ngomongin referensi keseharian kaum mengenah atau menengah kebawah.
Lagu βPHKβ ini cukup mengena buat saya jadikan referensi bermusik atau sekedar didengarkan sehari-hari, karena secara musikalitas liriknya kerasa tapi musiknya enak gitu didengerin sambil nyetir, atau kalau di malam hari sebelum istirahat.
Lagu βPHKβ ini ada dua versi, yang asli dan versi pelannya. Yang saya dengerin versi pelannya, kalau nggak salah dari album Surat Buat Wakil Rakyat.
2. Hatebreed: “βConceived Through An Act Of Violence”
Album Satisfaction Is the Death of Desire milik Hatebreed ini bisa dibilang salah satu album yang selalu saya dengarkan di setiap fase hidup saya.
Balik lagi ke salah satu alasan yang bikin saya nyangkut sama lagu sebelumnya, ya karena saya punya band tadi. Saya tuh bukan tipe orang yang kalau ngeband terus bikin lagu itu ngulik banget gitu ya, dalam artian kayak secara gitarnya bakal kayak gimana tau secara teknisnya harus kayak gimana. Saya sih lebih sering dengerin saran temen aja kalau rekaman mending di sini pakai alat kayak gini. Secara musik saya itu lebih nyaman dengerin lagu sebanyak mungkin terus kalau udah nemu yang cocok saya putar berulang-ulang.
Dan saya tuh kesehariannya menghabiskan waktu di mobil ada 1/3 hari kayaknya, jadi lama deh pokoknya waktu yang saya habiskan untuk memutar ulang lagu-lagu dan mencari lagu baru di mobil gitu.
Lagu βConceivedβ ini menjadi lagu favorit karena dari awal menemukan hardcore itu saya memang suka dengan part-part breakdown. Breakdown di album Hatebreed yang ini itu bagus-bagus, dan yang paling saya favoritkan itu ada di lagu ini. Selain itu ada juga breakdown di lagu βBurial for the Livingβ yang pernah saya cover dengan HADD.
3. Combustβ: “βThe Big Game”
Lagi suka band New York baru, Combust namanya. Dia baru ngeluarin album judulnya Another Life. Hampir semua di album ini enak, tapi lagu yang paling enak βThe Big Gameβ judulnya, trek pertama. Musik mereka kelihatan jelas kalau ngerefer band-band lawas tapi sound mereka kekininan banget. Lagu mereka pendek-pendek cuma 1β2 menitan, udah kayak band-band hardcore 80/90-an kan.
Sebenernya kalau dari band hardcore itu saya nggak bisa banyak berbicara tentang lirik, karena sepenangkapan saya ya lirik-lirik band hardcore itu biasanya cukup sederhana, karena bentuk statement paling kuat dalam musik hardcore biasanya lebih berat di movement. Nggak hanya berhenti di lirik. Misal seperti shownya mereka yang tidak ada barikade, digagas oleh siapa, bagaimana mereka melakukan dancing/pogonya di moshpit dll. Nah statement terusannya biasanya lebih seperti itu, sedangkan lirik-liriknya cenderung sederhana, ngomongin komitmen, pertemanan, perlawanan terhadap sistem, gitu-gitu aja.
Lirik-liriknya Combust ini juga jatuh di kategori sederhana tersebut, tapi sudah sangat cukup merepresentasikan mereka sebagai band hardcore.
Kalau diperumpamain tuh, Turnstile kemarin kan dengan penampilan NPR mereka kemarin berhasil memunculkan stereotip bahwa hardcore juga bisa dinikmati di coffee shop ya, nah si Combust ini juga bisa sebenarnya kearah situ, walaupun nggak se-aksesibel musiknya Turnstile tapi album ini masih enak gitu loh didengarkan sambil nyantai, duduk ngobrol.
Kami sendiri di Greedy Dust juga berusaha untuk memegang erat etos hardcore namun membuatnya se-aksesibel mungkin untuk khayalak umum.
4. The Internetβ: “You Don’t Even Know”
Biasanya selain dapet musik dari sosmed/media/temen-temen yang into scene, di keseharian saya kan saya banyak terlibat dengan banyak orangβββ terutama temen-temen kuliah saya di FSRD ITB, saya sering bertukar playlist juga sebagaimana orang-orang pada umumnya.
Nah lagu milik The Internet ini saya dapat dari temen. Saya beberapa bulan lalu, terus jadi heavy rotation aja. Kalau dari segi lirik sebenernya nggak ada yang spesial atau ngena-ngena banget sih. Cuma jadi sering dengerin karena dapet dari temen-temen tadi.
Dan pendekatan mencari musik seperti ini itu juga sering saya lakukan sih, kayak di Spotify desktop tuh kan di kanan ada friends activity-nya, itu sering saya klik.
Soalnya kalau dari musik, saya sering bingung gitu kalau ditanya selera musik, saya nggak punya statement yang saklek gitu selera musik saya seperti apa. Saya sih cukup fleksibel, nggak harus yang hardcore banget gitu atau gimana.
Toh akhirnya karena kebiasaan personal saya sama Jaka yang cukup sering menyentuh ranah-ranah musik di luar hardcore tadi, akhirnya memunculkan banyak ide di Greedy Dust untuk melakukan hal-hal seperti collabs sama entitas non-hardcore, lalu merilis band cross-genre seperti Kinder Bloomen, Enola, Cotswolds begitu. Mungkin Kinder Bloomen sih so far yang musiknya paling nggak biasa untuk kita, di Indonesia juga kayaknya masih nggak biasa tuh.
5. Ramallah: “βDays of Revenge”
Salah satu member band ini, Jeff Gunnels, itu punya band namanya Cold As Life yang sekarang lagi ramai jadi referensi lagi dikalangan temen-temen HC.
Cold As Life ini merepresentasikan negative hardcore, di mana orang-orangnya biasanya digambarkan dengan senjata. Lalu kalau diceritakan ya, salah satu membernya ini emang pernah balas dendam untuk temennya sampai ngebunuh orang di kota dia lalu dipenjara. Band Ramallah ini dia buat sebelum dia masuk penjara.
Cuma musiknya Cold As Life beda jauh sama Ramallah. Kalau dengerin Cold As Life itu musiknya enak tapi rekamannya jelek banget, beda sama Ramallah ini dia rekamannya well-produced dan enak didengerin.
Tadi kan aku sempet mention kalau lirik-lirik hardcore itu biasanya lebih mudah dicerna dan punya cara-cara lain untuk dinikmati lewat statement-statement mereka. Tapi kalau Ramallah ini dia liriknya banget menyinggung soal Palestina, mungkin di tahun segitu (2005) konfliknya lagi naik ya.
Yang bikin saya suka lagu ini, ceritanya kan desember kemarin Greedy Dust bikin showcase di Malang, saya kenal sama band Malang namanya Keep It Real yang juga pernah kami ajak untuk bikin split dengan band singapore. Vokalisnya Keep It Real itu orangnya merch nerd gitu, dia sukanya cari merch yang sulit, vintage dan mahal gitu. Nah waktu itu saya dikasih hoodie Ramallah sama dia, jadi ada kesan personal gitu buat saya.
6. Gridiron: “Ain’t Turned Mine”
Saya bingung milih mau masukin Gridiron atau band satunya.
Jadi Gridiron ini baru rilis split dengan band hardcore Glasgow namanya Despize. Kalau Gridiron-nya sendiri sebenarnya berisikan orang-orang lama sih, ini proyek member Never Ending Game, Payback, Year of the Knife gitu.
Sederhana sih saya suka mereka tuh: musiknya bagus, visualnya bagus. Dua komposisi ini sudah cukup untuk bikin mereka ngena di saya. Kalau kayak Ramallah tadi sebenernya secara visualnya saya nggak terlalu suka yang seperti itu. Tapi karena musiknya, lalu dibalik itu mereka orang-orang lama, ditambah ada cerita personal terkait hoodie yang dikasih kawan dari Malang tadi jadi saya point out. Sedangkan kalau ini murni karena mereka berhasil nge-represent musik dan visual hardcore yang canggih.
Bagi saya visual itu penting banget, dalam artian kalau sepengetahuan saya cara kerja scene hardcore punk / DIY itu kan pasti palugada ya. Band itu mereka ngerjain semuanya dari musik, recording, artwork, distribusi dan apapun-nya. Ketika kita tau semua hal tersebut dilakukan oleh semua orang dan kita melihat ada salah satu aspek yang dikerjakan dengan tidak maksimal itu akan jadi missed, memberi kesan kalau βoh bandnya nggak paham visual nih,β atau apa kek yang lainnya misalnya.
Jadi menurut saya penting untuk memahami segala aspek ini termasuk visual yang canggih agar band bisa mengkomunikasikan konsep yang mereka punya dengan baik. Canggih di sini maksudnya tidak harus bagus atau rumit ya, tapi sesederhana dia bisa merepresentasikan musik yang dimainkan oleh bandnya gitu.
Selain itu ada aspek marketing mungkin ya, kadang susah memang kalau ngebranding sebuah band dengan ciri yang terlalu jauh dari hardcore untuk dilempar ke komunitas hardcore itu sendiri. Cuma yang berhasil juga ada, kayak belakangan saya lihat Bleach dari Bandung saya lihat mereka berhasil lakukan itu. Di tahun 2020 waktu mereka pertama kali rilis EP, saya nggak tertarik sama sekali, cuma rilisan dan brandingnya belakangan ini digarap dengan baik oleh tim mereka dan musiknya jadi terdengar dengan baik menurut saya. Karena kita juga mendengarkan musik kan terkadang melalui proses dari mata masuk ke kuping ya.