Image by PRONTAXAN
Terdepan dalam sebuah genre yang menggemaskan, PRONTAXAN adalah sebuah grup musik yang mengumandangkan funkot sebagai puncak teratas dalam jejaknya. Terbentuk pada tahun 2018, kini PRONTAXAN diinisiasi oleh 6 music enthusiast, Yahya Dwi Kurniawan, Uji Hahan Handoko, Lana Pranaya & Rangga Sang Eshayoga, Bagas Oktariyan Ananta, & Dito Satriawan.
Berangkat dari Jogja dengan segala bentuk artistik dan musikalitasnya, PRONTAXAN dapat dikatakan sebagai pioneer atau martil dalam perkembangan musik Funkot pada era ini. Sebuah katarsis dari berbagai macam musik elektronik dan sentuhan lokal yang menyenangkan, PRONTAXAN adalah sekelompok figur yang menginisiasi dan menghidupkan kembali genre Funkot.
Dari tiap latar belakang musik yang berbeda, Funkot adalah sebuah titik temu yang menyatukan semua intelektual musik dari keenam member mereka. Pada episode Six Songs to Know kali ini, kami berkesempatan untuk berbincang dan berbagi tentang satu set playlist yang memberi gambaran besar terhadap pesona musik yang dimainkan oleh PRONTAXAN.
Simak sederet obralan kami di laman berikut :
1. DJ ZINYO : “Fill Parno”
Ega : “Kalo kita punya personal favourite masing masing, tapi untuk PRONTAXAN kita punya satu favorit producer asal malang. Namanya Zinyo.”
Ega : “Lagu Sinyo ini lagunya banyak ya. Dia salah satu remixer keren menurutku. Jadi lagu-lagunya itu cuma ada di Youtube sama Soundcloud, tidak ada di platform lain.”
Lana : Kalo personal favoritku sih dari DJ Sinyo itu adalah Fill Parno. Fill Parno tuh menurutku salah satu kompisisi funkot yang cukup progressive dan hard.
Ega : Sama ini sih, dia itu membawa membawa style baru di genre funkot ini. Dia punya style yang berbeda dibanding produser funkot yang lain.
Lana : Dia salah satu producer yang cukup βbreakthroughβ dengan sound-nya.
Ega : Betul, dia pake pilihan sound yang berbeda daripada yang lain.
Ega : Lumayan sangat banyak involvement dia di musik kita.
Lana : Ya karena obscure mungkin ya.
Ega : Aku sih sukanya dia, kayak dia sendiri tuh mungkin di dunia funkot sendiri tuh namanya nggak terlalu besar. Jadi di domainnya dia tuh, namanya nggak terlalu besar tapi musiknya bagus-bagus. Banyak orang nggak tau kalau musik yang mereka putar itu tracknya dia. Lumayan below the ground lah dia. Nggak yang underground bangetlah.
Lana : Masih ada humusnya lah, belum pasir. Dia tuh juga banyak produksi untuk dj-dj di Surabaya. Jadi beberapa dj-dj dari surabaya tuh kayak order atau request mix dari DJ Zinyo ini.
Ega : Banyak yang sih track bagus yang lain. yang judulnya tuh kayak, nama obat-obatan. kayak bikin judul lagu tuh se-kenaknya aja. Ada yang judulnya “Sampoerna Mild”. Ya aneh-aneh gitu mas, misal “Kratingdaeng Dingin”. judul lagunya gitu-gitu. Dan, lately itu, mungkin karena tiktok ya, lagunya dia tuh banyak di-upload beberapa orang. Dan musiknya lumayan jadi fyp, banyak dipake orang-orang.
Lana : kayak dia pernah nge-remix Hoobastank, yang “The Reason”, itu juga dia pernah buat.
Ega : Sama dia tuh hobinya mancing ya, jadi agak aneh, agak amaze aku sama dia. mungkin dia dapet inspirasi-inspirasi gitu waktu mancing kali ya.
Lana : kalo nggak dia mancing tapi bawa laptop.
Ega : Terus fun fact-nya dia, orangnya ini udah cukup tua. Umurnya sudah matang lah, paruh baya. Tapi yang pasti musiknya sangat meng-influence kita. Contohnya, misal dari aransemen terus dari pilihan-pilihan sample yang dipake. Dia sangat meng-influence aku sama lana buat bikin PRONTAXAN.
2. Jaydee : “Plastic Dreams”
Lana : “Oh ini, Jaydee-Plastic Dreams. Itu juga ada dark fact-nya soal lagu ini.”
Ega : “Jadi Plastic Dreams-nya Jaydee ini salah satu lagu elektronik yang hits sebenernya di 90βs awal. Release tahun 92β kalo nggak salah. Kalo lagunya sih sangat-sangat trippy, cuman bukan yang kayak psychedelic gitu ya. Cuma lagunya itu sangat “my trip my adventure“. Jadi ada cerita lucu dan dark dibalik lagu itu. Ini agak depressing sih sebenernya.”
Lana : “Ini kelam sih ceritanya.”
Ega : “Lagu ini sering disebut kayak “song from hell” gitu lah. Jadi saking hits nya lagu ini banyak diputar di diskotik seluruh dunia. Salah satunya di diskotik namanya, Ozon, di Filipina. Jadi pas malam itu di Ozon lagi rame banget, pack lah. Pas dj nya lagi muterin Plastic Dreams ini diskotiknya kebakaran. Mungkin nih karena system failure, sound-system nya konslet terus kebakar atau gimana. Dan akhirnya satu diskotik itu kebakar. Korbannya banyak bangetlah. Kayak hampir 80% itu pengunjungnya itu meniggal sembari dengerin lagu Plastic Dreams ini. Konon tuh, ada salah satu survivor-nya bilang kalo lagu itu ya diputar sampai selesai.”
Lana : “Karena dj nya udah lari duluan gitu, jadi dimuter terus kan itu lagu. Ini berita nya, Ozon Club Fire, 160 people died.”
Ega : “Diluar cerita nya ini, sebenernya lagu nya itu bagus. Terus di era itu, again, musiknya beda dari yang lain. Sebenernya kalo genre nya lebih ke electro-house gitu. Tapi ada touch, trench-nya sedikit. Dan sampai sekarang tuh masih sering dimainin atau di-recreate. Bahkan ada beberapa versi berbeda dari artistnya sendiri. Jadi releasenya kan di 92-93 terus ada versi beda lagi di 2003, ada di 2008 kalo nggak salah.”
Lana : “Saking hitsnya lagunya kayak di-update terus gitu.”
Ega :Β “Kita pernah mainin lagu ini, terakhir kemarin pas di Museum Macan. Tapi yang versi 2003. Karena di versi yang ini, lagunya agak berubah jadi lebih sedikit break-beat.”
Ega : “Kalo influence lagunya di kita, aku pribadi selalu fascinated sama sound-nya sebenernya. Kalo aku dengerin musik atau satu aransemen gitu, yang pertama bikin nyantol itu tuh pilihan sound-nya mereka. Atau bagaimana mereka nge-tweak sound itu. Misal aja sound yang dipakai ini umum, cuma touch mereka untuk nge-tweak sound itu. Contohnya di Plastic Dreams ini, dia itu bass-line nya pake KORG M1 gitu, organ bass.”
Lana : “Dan di era 90s itu hampir semua pake sound itu, umum lah.”
Ega : “Pas era-era itu, alat itu emang populer lah. Nah, si Jaydee ini, bisa buat suara organ biasa tadi jadi beda. Sound ini paling terkenal dipake di lagunya Robin. S yang βShow Me Loveβ. Yang aslinya sound ini bold biasa, tapi di Plastic Dreams ini bisa jadi kayak ada mistiknya gitu.”
Lana : “Kayaknya di-reverb lagi, terus ada tambahan effect lainnya.”
Ega : “Dan kalau ngomong di musiknya PRONTAXAN, organ bass di genre funkot atau break-beat, sound ini sangat dipake.”
Lana : “Makanya ada istilah “house tung-tung“, karena ada organ bass nya si KORG M1.”
Ega : “Betul, satu karena organ bass nya KORG itu sama adalagi dari suara cowbell, suara percussion gitu. Itu kenapa orang Indonesia punya istilah “house tung-tung“, ya karena itu.”
Lana : “Mungkin orang juga familiar-nya funkot itu house music, oh ini musik house, padahal beda.”
Ega : “Iya, banyak orang Indonesia yang ngomong funkot atau musik-musik remix itu sebagai house music.”
Lana : “Karena mungkin bisa masuk ke masyarakat itu melalui produser-produser Indonesia. Bukan dari asal industri house music itu sendiri. Jadi ya kayak musik house yang ter-sablon di masyarakat kita tuh ya sebagai musik “tung-tung” itu.”
Ega : “Ya itu semacam, kalo kita sekarang nyebut pasti gigi itu odol.”
Dito : “Tapi jaman dulu soalnya, kaset-kaset dan cd di-labelnya musik funkot ini sebagai musik house remix juga, secara literal.”
Ega : “Itu yang membuat terminologi house di sini itu berubah. Bergeser lah maknanya.”
β¦β¦
Ega : “Lucunya kita tuh background-nya beragam ya. Aku sendiri apa, mas lana beda juga. Terus yaya background musiknya apa. Mas Dito dengan band-band punk-nya, yang begitu harsh. Bagas tuh lebih ke MORFEM. Ya intinya kita punya background yang berbeda-beda cuma kita disatuin di jazz.”
Lana : “Sebenernya kita ini hip-hop fans.”
Dito : “Kita kalo dengerin TLC tetep nggak bisa nggak joget.”
3. Afrika Bambaataa & The Soulsonic Force : “Planet Rock”
Ega : “Mungkin lagu ketiga yang menginfluence dalam hal produksi musiknya PRONTAXAN, itu Afrika Bambaataa – Planet Rock. Itu salah satu lagu yang mempopulerkan sound drum yang meng-influence banyak sekali musik electronic, hip-hop, sekarang mungkin pop ya. Afrika Bambaataa & The Soulsonic Force. Itu kalo nggak salah 80-an. Record nya dari Tommy Boy Records, di 82β lebih tepatnya.”
Ega : “Jadi sebenernya lagu itu yang bikin bukan si Afrika Bambaataa nya sendiri. Jadi ada satu geng produser gitu. Mereka itu lagi internship di satu studio gitu ceritanya. Terus mereka sempet kasih demo ini ke atasannya, cuma ditolak. Cuma menurut mereka lagu ini futuristic banget.”
Ega : “Orginal-nya lagu ini kan instrumental, nah one day mereka ketemu sama Afrika Bambaataa ini. Respon pertamanya juga sama, kayak ini lagu apa sih. Karena mereka ambil sample yang unik lah. Jadi disekitar tahun itu, sampleling atau istilahnya pake lagu orang, di era itu masih sangat jarang. Saat itu persepsinya ya, kamu kalo ngambil part-nya orang yang ilegal. Cuma dibalik itu ada kreativitas yang berbeda. Nah buat lagu ini meraka ambil banyak sekali sample, meskipun sound-nya nggak persis. Ngambil pattern atau lead banyak dari lagunya Kraftwerk. Pertama mereka juga pikir kayak, ini band apa dari Jerman lagunya nggak jelas, tapi mereka kayak βMan this is futureβ.
Ega : “Tahun segitu, sampler atau alat untuk sampling itu masih jadul lah. Kemampuan alat itu untuk sampling sangat terbatas. Karena sampling itu masuknya udah di digital, tahun segitu kan komputer masih segede kulkas. Jadi yang dilakukan sama Afrika Bambaataa dan The Soulsonic Force itu bisa mengakses ke alat-alat seperti ya privilege. Kalo sekarang ngomongin software, ya kamu bisa buat sampling unlimited sebanyak kamu mau. Cuma di era itu, kamu sampling cuma bisa sekitar 2,5 detik sample time-nya. Jadi lagu yang bisa kamu ambil buat bahan sampling itu cuma 2,5 detik. Jadi ya dengan 2,5 detik itu mereka bisa buat lagu 6 menit itu menurutku beyond.”
Illustration by Djoko Ikhsan
Ega : “Di lain sisi, mereka menggunakan alat-alat yang bisa dibilang gagal. Nah ini lucunya electronic musik ini banyak melahirkan kultur atau mengkultuskan atau membuat suatu culture yang dari dulu nya sampah jadi sesuatu yang priceless. Contohnya synthesizer yang dipake atau teknik-teknik yang dipake. Karena mostly, jaman segitu, produser-produser electronic itu miskin. Contohnya, sound drum di Planet Rock ini pake alat Rolland TR 808. Sebenernya alat ini dibuat memang untuk me-replica suara drum.”
Lana : “Tapi hasilnya, malah suara yang dihasilkan sama sekali tidak seperti drum.”
Ega : “Karena keterbatasan dana, tetep mereka beli alat ini, malah alat ini jadi kayak holy grail.”
Lana : “Dan malah karena lagu ini, alat Rolland TR 808 banyak direplika ulang sama brand-brand lain.”
Ega : “Dan juga alat ini sebenernya diproduksi menggunakan komponen alat elektronik yang cacat atau reject sebenernya. Yaudah makanya, alat itu murah kan.”
Lana : “Tapi menurutku, banyak juga musik apapun itu kayak jazz, blues, reggae, pop, electro, house, disco, itu justru mereka lahir dari “black music culture“. Maksudnya memang mereka adalah orang-orang yang istilahnya ter-marjinalkan pada era-nya. Penggunaan alat yang murah atau skema yang underground, justru membuat musik ini jadi sesuatu yang besar. Karena memang mereka memaksimalkan kreativitas menggunakan alat yang seadanya. Dan itu membuat mereka harus 1000 kali lebih kreatif daripada mereka yang bisa mengakses alat yang lebih proper.”
Lana : “Itu tuh terjadi juga di reggae. Di reggae tuh bahkan keyboard yang paling holygrail, merk-nya Casio, bukan Rolland atau Korg. Bayangin aja, pembuat jam tangan bikin alat musik. Itu yang menurutku menarik dari musik-musik undeground. Bahkan techno yang terdengar sangat sophisticated itu malah berangkat dari kultur orang-orang yang istilahnya ter-marjinalkan di era itu. Dan itu spiritnya, menurutku, sama persis seperti funkot. Mungkin stigma-nya, halah musik kampung atau musik diskotik kelas b, nggak mungkin dimainkan oleh kaum-kaum tertentu, kalo kita ngomongin kelas sosial. Tapi pada saat ini yang membuat kita jadi semangat, karena pada akhirnya funkot malah terlihat seperti bapaknya musik techno atau house. Dulu ini musik yang dikesampingkan, sekarang kita bisa menembus market yang lebih luas lagi. Bukan lagi menolak, malah sekarang dicari dan banyak orang berlomba-lomba memainkan musik ini.”
4. Hubert Laws : “Undecided”
Lana : “Mungkin kalo aku sendiri, aku suka dan baru baru ini dapet, lagunya Hubert Laws judulnya Undecided. Itu lagi-lagi black music, lagu itu funk. Aku sebenernya suka funk yang kemudian jadi musisi funkot.”
Lana : “Kalo ceritanya, aku dengerin musik ini waktu mabuk banget. Kalo kenapa suka, ya karena musiknya keren aja. Saking funky nya musik ini kalo dengerin aja kayak merasa keren. Ya karena musik funk ini kan orang-orangnya keren, kayak James Brown. Ya karena musiknya emang keren dan dibuat biar terasa flashy gitu kan.”
5. Iwan Fals : “Sarjana Muda”
Ega : “Yang kelima ini bisa satu lagi dari Iwan Fals, ‘Sarjana Muda‘. Salah satu lagu yang buat aku pribadi ada rasa, jengkel, terus ada sinisnya juga. Tapi dilain sisi ada rasa bangga juga. Lagu itu kan cerita nya seorang pria muda yang baru sarjana, 4 tahun lulus, resah mencari kerja. Hanya mengandalkan ijazah.”
Ega : “Aku nggak tau sih, cuma stigma itu masih tetep ada kan sampai sekarang. ‘Survival‘ skill-nya itu dinilai dari akademis. Jadi gimana kamu bisa survive di dunia professional, dikelola oleh sistem ini.”
Lana : “Lagu ini kan kayak sebuah tamparan keras ke negara. Bahwa negara ini banyak melahirkan sarjana, ribuan mungkin tetapi negara tidak bisa memberi lapangan kerja yang cukup untuk pekerjanya. Jadi ya itu, terus lah bekerja, jangan berharap pada negara. Padahal ya nggak juga (tertawa).”
Ega : “Aku mau nambahin sedikit sih. Aku kesalnya di PRONTAXAN, hanya aku yang tidak sarjana.”
Lana : Ada Yayak juga yang masih kuliah.
Ega : “Jadi ini kita tunggu nih, apa nantinya hanya saya yang tidak sarjana atau ada temennya. Nah aku denger lagu ini tuh jadi kayak, iyasih harusnya aku dulu kuliah sih, kayak gitu-gitu. Untung aja istri saya nih supportive dan toleran ya (tertawa).”
Lana : “Karena pada awalnya di bergabung jadi satu di PRONTAXAN ini, berangkat dari keresahan sebagai laki-laki loser. Seperti musik funkot gitu loh mas.”
Lana : “PRONTAXAN ini bentuk kejujuran kita yang sejujur-jujurnya. Kalau kita main techno, house gitu, itu baru alter ego kita. Kalau tiba-tiba suatu hari lihat kita main musik house gitu, nah itu akun alter saya.”
Ega : “Tolong mas, βSarjana Mudaβ Iwan Fals ini harus dikumandangkan kembali.”
Dito : “Sebenernya kalo melihat isinya lagi, sebenernya itu isu global juga. Bahwa sebenernya pendidikan formal tidak sebanding lurus dengan kesempatan kerja yang ada.”
Lana : Politik ini mas (tertawa).
6. MALIQ & D’Essentials : “Himalaya”
Ega : “Nih untuk terakhir biar mas Dito aja yang pilih.”
Lana : “Mas Dito mungkin ini ya, Agnostic Front.”
Dito : “Kalo ngomongin musik, mungkin bisa mas Lana sama mas Ega aja. Karena soal produksi musik mereka berdua ini yang banyak terlibat. Sama juga sebenernya yang diomongin mas Ega. Teman-teman lain itu punya background musik yang berbeda, dewe-dewe. Kalo aku ngelihat posisi funkot di musik elektronik ini dan power violence di musik underground, dua ini posisinya sama. Ya sama-sama ter-marjinalkan.”
Lana : “Teko, mabuk, pogo. Aku tau lagunya Dito apa, aku bisa mewakili. MALIQ & DβEssentials, Himalaya. Itu Dito mau ngomongin marjinal atau underground, kalo misal lagi karaoke, nyanyi Himalaya 4 kali. Bahkan itu akan segera kita bikin remix-nya. Itu sangat mewakili. Dito ini ibarat, hard candy but melt inside. Coklat yang dalem-nya keras tapi dalamnya jemek.”
Ega : “Ini aku mau nambahin, kenapa harus ada Himalaya. βPastikan kau melihat aku saat ku gapai puncak tertingga bersama tujuh warna pelangiβ, ituloh mas.”
Lana : “Ya itu mas, kita bicara soal kemenangan. Ya intinya kenapa kita masukan Himalaya, karena itu bertemakan perjuangan. Sebernernya kan lagu ini perjuangan banget ya isu-nya. Cuma itu kercerdasan seorang seniman dalam cara membungkus atau menyampaikan, tidak gamblang atau banal ya.”